Sabtu, 30 Oktober 2010

ETIKA PROFESI DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI

1.1 Profesi

A. Pengertian Profesi

Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan (occupation) yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetapi belum tentu dikatakan memiliki profesi yang sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksaan, dan penguasaan teknik intelektual yang merupakan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Adapun hal yang perlu diperhatikan oleh para pelaksana profesi.

B. Syarat - syarat profesi :

· Melibatkan kegiatan intelektual.

· Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.

· Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan.

· Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.

· Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.

· Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.

· Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.

· Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.

C. Etika Profesi

Etika profesi adalah etika moral yang khusus diciptakan untukkebaikan jalannya profesi yang bersangkutan, karena setiap profesi mempunyai identitas, sifat/ciri dan standar profesi tersendiri, sesuai dengan kebutuhan profesi masing-masing. Berkaitan dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan seseorang sangatlah perlu untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat atau terhadap konsumen (klien atau objek). Dengan kata lain orientasi utama profesi adalah untuk kepentingan masyarakat dengan menggunakan keahlian yang dimiliki. Akan tetapi tanpa disertai suatu kesadaran diri yang tinggi, profesi dapat dengan mudahnya disalahgunakan oleh seseorang seperti pada penyalahgunaan profesi seseorang dibidang komputer misalnya pada kasus kejahatan komputer yang berhasil mengcopy program komersial untuk diperjualbelikan lagi tanpa ijin dari hak pencipta atas program yang dikomesikan itu. Sehingga perlu pemahaman atas etika profesi dengan memahami kode etik profesi.

D. Prinsip-prinsip Etika Profesi, yaitu :

§ Tanggung Jawab

§ Keadilan

§ Otonomi

§ Integritas Moral

1.2 Kode Etik Profesi

Kode yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis.

Kode etik yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Sedangkan Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana seseorang sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi :

· Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

· Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan keja (kalanggan social).

· Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.

1.3 TUJUAN KODE ETIK PROFESI :

1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.

2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.

3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.

4. Untuk meningkatkan mutu profesi.

5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.

6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.

7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.

8. Menentukan baku standarnya sendiri.

Etika profesi sangatlah dibutuhkan dlam berbagai bidang. Kode etik yang ada dalam masyarakat Indonesia cukup banyak dan bervariasi. Umumnya pemilik kode etik adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional, misalnya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kode etik Ikatan Penasehat HUKUM Indonesia, Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Kode Etik Advokasi Indonesia dan lain-lain. Ada sekitar tiga puluh organisasi kemasyarakatan yang telah memiliki kode etik. Suatu gejala agak baru adalah bahwa sekarang ini perusahaan-perusahan swasta cenderung membuat kode etik sendiri. Rasanya dengan itu mereka ingin memamerkan mutu etisnya dan sekaligus meningkatkan kredibilitasnya dan karena itu pada prinsipnya patut dinilai positif.

1.4 Penyalahgunaan Profesi

Contoh penyalahgunaan profesi di bidang computer, misalnya penjahat berdasi yaitu orang - orang yang menyalahgunakan profesinya dengan cara penipuan kartu kredit, cek, kejahatan dalam bidang komputer lainnya yang biasa disebut Cracker dan bukan Hacker, sebab Hacker adalah Membangun sedangkan Cracker Merusak. Hal ini terbukti bahwa Indonesia merupakan kejahatan komputer di dunia diurutan 2 setelah Ukraine. Maka dari itu banyak orang yang mempunyai profesi tetapi tidak tahu ataupun tidak sadar bahwa ada kode Etik tertentu dalam profesi yang mereka miliki, dan mereka tidak lagi bertujuan untuk menolong kepentingan masyarakat, tapi sebaliknya masyarakat merasa dirugikan oleh orang yang menyalahgunakan profesi.

1.5 SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK :

§ Sanksi moral

§ Sanksi dikeluarkan dari organisasi

Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari-hari kontrol ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain.

1.6 Kesimpulan

Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang profesional

Kesadaran itu penting dan lebih penting lagi kesadaran itu timbul dari Diri kita masing - masing yang sebentar lagi akan menjadi pelaksana profesi di bidang apapun disetiap tempat kita bekerja, dan selalu memahami dengan baik atas Etika Profesi yang membangun dan bukan untuk merugikan orang lain.

SUMBER :

v http://eprints.undip.ac.id/4907/1/Etika_Profesi.pdf

v http://y0un13.blogspot.com/2006/03/etika-profesi-dan-tanggung-jawab.html

Jumat, 15 Oktober 2010

ETIKA BISNIS DALAM PERIKLANAN

A. Definisi Iklan

Menurut Thomas M. Garret, SJ, iklan dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang lewatnya pesan-pesan visual atau oral disampaikan kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau memengaruhi mereka untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara positif terhadap idea-idea, institusi-institusi tau pribadi-pribadi yang terlibat di dalam iklan tersebut. Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dsb). Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis.

Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan kehilangan nilai-nilai informatifnya, dan menjadi semata-mata bersifat propaganda barang dan jasa demi profit yang semakin tinggi dari para produsen barang dan jasa maupun penyedia jasa iklan. Padahal, sebagaimana juga digarisbawahi oleh Britt, iklan sejak semula tidak bertujuan memperbudak manusia untuk tergantung pada setuap barang dan jasa yang ditawarkan, tetapi justru menjadi tuan atas diri serta uangnya, yang dengan bebas menentukan untuk membeli, menunda atau menolak sama sekali barang dan jasa yang ditawarkan. Hal terakhir ini yang justru menegaskan sekali lagi tesis bahwa iklan bisa menghasilkan keuntungan-keuntungan bagi masyarkat.

B. Sejarah Periklanan

Secara mendasar, upaya periklanan telah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu. Banyak penemuan-penemuan purbakala yang mengungkapkan adanya bukti kegiatan promosi dan periklanan sejak jaman dahulu, walaupun masih dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana. Sejarah periklanan telah dimulai ribuan tahun lalu, ketika bangsa-bangsa di dunia mulai melakukan pertukaran barang. Wright (dalam Liliweri, 1992) mencatat bahwa kira-kira 3000 tahun sebelum Masehi, bangsa Mesopotamia dan Babilonia telah meletakkan dasar-dasar periklanan seperti yang terlihat sekarang ini. Pada jaman itu, pedagang-pedagang menyewa perahu-perahu dan menyuruh pedagang keliling mengantarkan hasil produksi ke konsumen yang tinggal di pedalaman dengan menggunakan teknik pemasaran door to door. Pada jaman Yunani dan Romawi, teknik beriklan mengalami perkembangan . Pada jaman ini telah dikenal perdagangan antarkota dimana iklan pada terekota dan perkamen sudah mulai digunakan untuk kepentingan Lost & Found (Kasali, 1995). Pada masa inilah mulai disadari pentingnya menggunakan medium untuk menyampaikan informasi. Para pemilik usaha menggunakan pahatan di dinding-dinding kota untuk memberitahu orang banyak bahwa mereka mempunyai dagangan tertentu. Pada zaman Caesar, banyak toko di kota-kota besar yang telah mulai memakai tanda dan symbol atau papan nama sebagai media utama dalam beriklan.

Periklanan memasuki babak sejarah yang sangat penting ketika kertas ditemukan pada tahun 1215 di Cina dan mesin cetak diciptakan Johann Gutenberg pada tahun 1450. Sejak itu medium-medium kuno ditinggalkan. Orang beralih ke pamphlet atau selebaran-selebaran untuk menginformasikan atau menjual sesuatu. Selebaran dan pamflet inilah yang menjadi cikal bakal munculnya surat kabar, sebuah medium klasik yang sampai sekarang tetap menjadi pilihan pengiklan sebagai medium utama.Periklanan mengalami perkembangan yang luar biasa cepat seiring dengan tumbuhnya era industri. Populasi penduduk dunia meningkat, industri-industri baru tumbuh dan iklan menempati posisi yang penting untuk mendorong penjualan. Sampai abad 19, belum ada perusahaan periklanan (advertising agency) baik di Eropa maupun di Amerika. Jadi, siapapun yang ingin mengiklankan sesuatu harus berhubungan dengan surat kabar. Sekitar tahun 1800-an, kerumitan dan kesulitan diantara pengiklan dan surat kabar mulai berkembang. Para pengiklan merasakan kebutuhan untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, bukan hanya masyarakat yang tinggal satu kota dengannya saja – sebagaimana distribusi surat kabar pada masa itu. Perkembangan itulah yang melahirkan kebutuhan perlunya penghubung antara surat kabar dengan pengiklan. Hower mencatat dua nama pertama yang bertindak sebagai advertising agent, yaitu Volney B. Palmer di Philadelphia dan John Hooper di New York. Oleh orang-orang sesudah mereka, bisnis tersebut dikembangkan ke dalam sebuah institusi yang disebut advertising agency.

Karena memiliki tanggung jawab moral dan interaksi yang cukup banyak dengan beragam segmen, para praktisi periklanan di sekitar abad 19 mulai meletakkan standar-standar periklanan yang lebih baik. Sebagai contoh, FW Ayer & Son yang didirikan di Philadelphia menjadi advertising agency tertua yang memberi tatanan modern pada bisnis periklanan. Agency yang didirikan Francis Wayland Ayer ini memperbaiki teknik-teknik periklanan dan memajukan standar layanan sebuah agency, termasuk mengembangkan prinsip-prinsip etika bagi sebuah bisnis yang sukses.

Beberapa standar penting yang berlaku saat ini merupakan ‘peninggalan’ para praktisi periklanan di abad 19 maupun awal-awal abad 20, seperti besarnya persentase komisi bagi agency sebesar 15% yang berlaku pada tahun 1917 maupun pembagian aktifitas perusahaan periklanan ke dalam 3 bidang dasar yaitu account, creative dan media.

C. Perkembangan periklanan di Indonesia

Perkembangan periklanan di Indonesia telah ada sejak lebih dari se abad yang lalu. Iklan yang diciptakan dan dimuat di surat kabar telah ditemukan di surat kabar "Tjahaja Sijang" yang terbit di Manado pada tahun 1869. Surat kabar tersebut terbit sebulan sekali setebal 8 halaman dengan 4 halaman ekstra. Iklan-iklan yang tercantum di surat kabar tersebut bukan hanya dari perusahaan / produsen, tetapi juga dari individu yang mencantumkan iklan untuk kepentingan pribadi.

Di tempat lain juga telah ada kegiatan periklanan melalui surat kabar, yaitu di Semarang pada tahun 1864. Surat kabar "De Locomotief yang beredar setiap hari telah memuat iklan hotel / penginapan di kota Paris. Iklan di kedua surat kabar ini masih didominasi oleh tulisan dan belum bergambar, karena kesulitan teknis cetak pada saat itu.Dalam perkembangannya, setiap surat kabar yang terbit kemudian, juga mencantumkan iklan sebagai sarana memperoleh penghasilan guna membiayai ongkos cetaknya.

D. Fungsi Periklanan

Periklanan dibedakan dalam dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif.

E. Beberapa Prinsip Moral yang Perlu dalam Iklan

Terdapat paling kurang 3 prinsip moral yang bisa dikemukakan di sini sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam iklan. Ketiga prinsip itu adalah (1) masalah kejujuran dalam iklan, (2) masalah martabat manusia sebagai pribadi, dan (3) tanggung jawab sosial yang mesti diemban oleh iklan. Ketiga prinsip moral yang juga digaris bawahi oleh dokumen yang dikeluarkan dewan kepuasan bidang komunikasi sosial untuk masalah etika dalam iklan ini kemudian akan didialogkan dengan pandangan Thomas M. Gerrett, SJ yang secara khusus menggagas prinsip-prinsip etika dalam mempengaruhi massa (bagi iklan) dan prinsip-prinsip etis konsumsi (bagi konsumen). Dengan demikian, uraian berikut ini akan merupakan “perkawinan” antara kedua pemikiran tersebut.

· Prinsip Kejujuran

Prinsip ini berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali dilebih-lebihkan, sehingga bukannya menyajikan informasi mengenai persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan menciptakan kebutuhan baru. Maka yang ditekankan di sini adalah bahwa isi iklan yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi logis, adalah upaya manipulasi dengan motif apa pun juga.

· Prinsip Martabat Manusia sebagai Pribadi

Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi semakin ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutn imperatif (imperative requirement). Iklan semestinya menghormati hak dan tanggung jawab setiap orang dalam memilih secara bertanggung jawab barang dan jasa yang ia butuhkan. Ini berhubungan dengan dimensi kebebasan yang justeru menjadi salah satu sifat hakiki dari martabat manusia sebagai pribadi. Maka berhadapan dengan iklan yang dikemas secanggih apa pun, setiap orang seharusnya bisa dengan bebas dan bertanggung jawab memilih untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.

Yang banyak kali terjadi adalah manusia seakan-akan dideterminir untuk memilih barang dan jasa yang diiklankan, hal yang membuat manusia jatuh ke dalam sebuah keniscayaan pilihan. Keadaan ini bisa terjadi karena kebanyakan iklan dewasa ini dikemas sebegitu rupa sehingga menyaksikan, mendengar atau membacanya segera membangkitkan “nafsu” untuk memiliki barang dan jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarkat, dll.

· Iklan dan Tanggung Jawab Sosial

Meskipun sudah dikritik di atas, bahwa iklan harus menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru karena perananya yang utama selaku media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, namun dalam kenyataannya sulit dihindari bahwa iklan meningkatkan konsumsi masyarakat. Artinya bahwa karena iklan manusia “menumpuk” barang dan jasa pemuas kebutuhan yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer. Penumpukan barang dan jasa pada orang atau golongan masyarkat tertentu ini disebut sebagai surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan. Menyedihkan bahwa surplus ini hanya dialami oleh sebagai kecil masyarakat. Bahwa sebagian kecil masyarakat ini, meskipun sudah hidup dalam kelimpahan, toh terus memperluas batasa kebutuhan dasarnya, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan.

Di sinilah kemudian dikembangkan ide solidaritas sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial dari iklan. Berhadapan dengan surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan manusia, dua hal berikut pantas dipraktekkan. Pertama, surplus barang dan jasa seharusnya disumbangkan sebagai derma kepada orang miskin atau lembaga/institusi sosial yang berkarya untuk kebaikan masyarakat pada umumnya (gereja, mesjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dll). Tindakan karitatif semacam ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kehidupan cultural masyarakat akan semakin berkembang. Kedua, menghidupi secara seimbang pemenuhan kebutuhan fisik, biologis, psikologis, dan spiritual dengan perhatian akan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Perhatian terhadap hal terakhir ini bisa diwujudnyatakan lewat kesadaran membayar pajak ataupun dalam bentuk investasi-investasi, yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan sebagian besar masyarakat.

F. Ciri-ciri iklan yang baik

· Etis: berkaitan dengan kepantasan.

· Estetis: berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan harus ditayangkan?).

· Artistik: bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.

G. Contoh Penerapan Etika dalam Periklanan

· Iklan rokok: Tidak menampakkan secara eksplisit orang merokok.

· Iklan pembalut wanita: Tidak memperlihatkan secara realistis dengan memperlihatkan daerah kepribadian wanita tersebut

· Iklan sabun mandi: Tidak dengan memperlihatkan orang mandi secara utuh.

H. ETIKA SECARA UMUM

· Jujur : tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan kondisi produk

· Tidak memicu konflik SARA

· Tidak mengandung pornografi

· Tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.

· Tidak melanggar etika bisnis, ex: saling menjatuhkan produk tertentu dan sebagainya.

· Tidak plagiat.

I. ETIKA PARIWARA INDONESIA (EPI)
(Disepakati Organisasi Periklanan dan Media Massa, 2005). Berikut ini kutipan beberapa etika periklanan yang terdapat dalam kitab EPI, antara lain :

Tata Krama Isi Iklan

1. Hak Cipta:

Penggunaan materi yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau pemegang merek yang sah.

2. Bahasa:

(a) Iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan persandian yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut.

(b) Tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“. (c) Penggunaan kata ”100%”, ”murni”, ”asli” untuk menyatakan sesuatu kandungan harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. (d) Penggunaan kata ”halal” dalam iklan hanya dapat dilakukan oleh produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang.

3. Tanda Asteris (*) :

(a) Tanda asteris tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk. (b) Tanda asteris hanya boleh digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut.

4. Penggunaan Kata “Satu-satunya” :

Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “satusatunya” atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.

5. Pemakaian Kata “Gratis” :

Kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.

6. Pencantum Harga :

Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut.

7. Garansi :

Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggung- jawabkan.

8. Janji Pengembalian Uang (warranty) :

(a) Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang. (b) Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.

9. Rasa Takut dan Takhayul :

Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.

10. Kekerasan :

Iklan tidak boleh – langsung maupun tidak langsung -menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.

11. Keselamatan :

Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan.

12. Perlindungan Hak-hak Pribadi :

Iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat massal, atau sekadar sebagai latar, sepanjang penampilan tersebut tidak merugikan yang bersangkutan.

13. Hiperbolisasi :

Boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya.

14. Waktu Tenggang (elapse time ):

Iklan yang menampilkan adegan hasil atau efek dari penggunaan produk dalam jangka waktu tertentu, harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu tersebut.

15. Penampilan Pangan :

Iklan tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan yang tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman.

16. Penampilan Uang:

(a) Penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan norma-norma kepatutan, dalam pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun pelecehan yang berlebihan. (b) Iklan tidak boleh menampilkan uang sedemikian rupa sehingga merangsang orang untuk memperolehnya dengan cara-cara yang tidak sah. (c) Iklan pada media cetak tidak boleh menampilkan uang dalam format frontal dan skala 1:1, berwarna ataupun hitam-putih. (d) Penampilan uang pada media visual harus disertai dengan tanda “specimen” yang dapat terlihat Jelas.

17. Kesaksian Konsumen (testimony) :

(a) Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama perorangan, bukan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas. (b) Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya. (c) Kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditanda tangani oleh konsumen tersebut. (d) Identitas dan alamat pemberi kesaksian jika diminta oleh lembaga penegak etika, harus dapat diberikan secara lengkap. Pemberi kesaksian pun harus dapat dihubungi pada hari dan jam kantor biasa.

18. Anjuran (endorsement) : (a) Pernyataan, klaim atau janji yang diberikan harus terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh penganjur. (b) Pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu, tidak diperbolehkan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.

19. Perbandingan:

(a) Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama. (b) Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut. (c) Perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak.

20. Perbandingan Harga :

Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus diserta dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.

21. Merendahkan :

Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.

22. Peniruan :

(a) Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti. (b) Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir.

23. Istilah Ilmiah dan Statistik :

Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan.

24. Ketiadaan Produk :

Iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya produk yang diiklankan tersebut.

25. Ketaktersediaan Hadiah :

Iklan tidak boleh menyatakan “selama persediaan masih ada” atau kata-kata lain yang bermakna sama.

26. Pornografi dan Pornoaksi :

Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun.

27. Khalayak Anak-anak :

(a) Iklan yang ditujukan kepada khalayak anakanak tidak boleh menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan, kekurangpengalaman, atau kepolosan mereka. (b) Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak anakanak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-kata “Bimbingan Orang tua” atau simbol yang bermakna sama.

KESIMPULAN

Dalam periklanan kita tidak dapat lepas dari etika. Dimana di dalam iklan itu sendiri mencakup pokok-pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan. Iklan mempunyai unsur promosi, merayu konsumen, iklan ingin mengiming-imingi calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan retorika sendiri. Masalah manipulasi yang utama berkaitan dengan segi persuasive dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari segi informatifnya). Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar. Maka di dalam bisnis periklanan perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut

SUMBER :

v http://jeremiasjena.wordpress.com/2010/10/05/etika-dalam-iklan/

v http://initugasku.wordpress.com/2010/03/03/%E2%80%9Cperiklanan-dan-etika%E2%80%9D/

v http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:bd2oUjQwsgoJ:xa.yimg.com/kq/groups/23378711/1769560086/name/MODUL%2BMANAJEMEN%2BPERIKLANAN%2B3.doc+peranan+etika+dalam+bisnis+periklanan&cd=125&hl=id&ct=clnk&gl=id

v http://www.isei.or.id/page.php?id=5okt073