Selasa, 23 Februari 2010

Kritik dan Saran bagi Penegak Hukum di Indonesia

Rakyat Indonesia menangis melihat perjalanan hukum yang tak lagi menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.Hukum di Indonesia tak sehat lagi,kini semua busa di beli dengn uang.hukum di perjualbelikan.Para penegak hukum nya tak bermoral,berjiwa matre.Hal itu terbukti dengan adanya mafia hukum yang makin merajalela,adanya peradilan sesat,bahkan ada lagi yang kehidupan dalam penjara bak kehidupan di lingkungan hotel kelas bintang lima.Woow,,mencengangkan bukan???????yah itu lah hukum di Indonesia saat ini..yah walaupun tak sepenuhnya para penegak hukum yang seperti itu,,,tapi hal ini perlu di benahi,jika tidak,dapat di pastikan keberadaan hukum di Indonesia tak lagi menjunjung nilai-nilai pancasila fdan UUD’45 tapi berlandaskan lembaran-lembaran uang.

Sungguh Menyedihkan….

JADI,,,,

Kapan keadilan,kejujuran,dan kebenaran di tegakkan????!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Kapan jiwa matre itu hilang….??!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Kita semua wajib berbenah diri jadikan Indonesiasebagai sebuah Negara yang tidak miskin akan jiwa yang bermoral,berintelektual tinggi,berhati nurani dan takut akan pembalasan dari Yang Maha Kuasa

1 komentar:

  1. kritik yang dilakukan terhadap positivisme hukum, termasuk terhadap penerapan positivisme hukum di Indonesia datang dari para penganut penganut hukum responsif–sintesis dari berbagai aliran hukum, terutama aliran hukum alam, mazhab sejarah hukum, aliran sociological Jurisprudence, Legal Realisme, maupun Critical Legal Studies movement. Hukum responsif menganggap positivisme hukum itu sekedar menempatkan hukum di sebuah ruang hampa, menjadi “aturan mati “ sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab hukum. Positivisme hukum telah menjadikan hukum itu sesuatu yang a sosial, padahal hukum itu diciptakan untuk manusia demi tujuan sosial tertentu. Sementara itu dalam pandangan Marx misalnya, menurut dia proses-proses hukum itu pada hakekatnya adalah proses-proses dialektika yang penuh konflik.Konflik antara suatu kepentingan dan kepentingan lain yang berposisi sebagai antitetiknya. Hukum dicurigai sebagai norma yang dipositifkan demi terlindunginya suatu kepentingan tertentu atau demi termenangkannya konflik tertentu. Maka menurut Marx, sejak awal diguga bahwa hukum akan lebih berkemungkinan hukum tergemgam ditangan elit dan kelas kuas, dan mereka itulah yang akan lebih berkemampuan mendayagunakan hukum formal untuk memenangkan konflik kepentingan.

    Kritik yang dilontarkan Marx terhadap positivisme hukum di satu sisi bisa dipahami, namun disisi lain terkesan –sebenarnya—tidak membicarakan positivisme hukum itu sendiri. Artinya yang dibicarakan Marx adalah tingkah laku yang mengitari positivisme hukum yang memberi peluang terjadinya penyalaggunaan positivisme hukum oleh elit atau kelas kuat. Dalam konteks ini, kemungkinan terjadinya penyimpangan atau penerapan paham hukum apa-pun selalu memiliki kelemahaman dan tersedia (terbuka) pintu untuk menyimpang dari nilai-nilai yang telah ditetapkan (disepakati). Persoalan pemamfaatan hukum oleh elit atau kelas kuat untuk kepentingannya bukanlah persoalan positivisme hukum, tetapi berkaitan dengan elemen dan fungisoanalitas negara (pemerintah) dalam kerangka mewujudkan tujuan negara. Meletakkan ketidak setujuan terhadap positivisme hukum dengan membenturkan antara kelas elit dengan kelas masyarakat papa, tentunya tidak sepenuhnya bisa diterima ketika dihadapkan pada kehidupan hukum dalam walfare state. Masalah yang nyata sebenarnya adalah terjadinya penguasa negara tidak melakukan tugas dan kewajibannya serta fungsionalitasnya -- sebagaimana halnya dengan di Indonesia-- yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Dalam perspektif ini, maka apa yang terjadi terhadap positivime hukum hanya imbas dari pengejewantahan politik penguasa dan minimnya kontrol atau akses masyarakat terhadap penguasa dalam pembentukan undang-undang.

    Dalam hubungan tersebut, maka menjadi tidak relevan kritik terhadap positivisme hukum dengan mengajukan dalil, bahwa kehidupan masyarakat telah terlanjur terstruktur secara amat hierarkis dan didominasi oleh elit-elit korup (penguasa feodal, birokrat, kapitalis-borjuis, dll.), menyajikan hukum tak lagi dalam wujudnya sebagai refleksi nilai keadilan atau asas kepatutan. Dalil ini jelas tidak bicara soal positivism hukum, melainkan bicara soal prilaku politik dan spesifiknya prilaku penguasa ketika nilai-nilai demokrasi yang dianut dalam suatu negara tidak terjelma secara fungsionalitas yang di-idamkan atau dipahami secara konsepsional.

    Kekeliruan dalam menanggapi positivisme hukum dengan mengambil garis benturan berupa hukum dimanfaatkan penguasa dengan kebutuhan hukum kaum papa, tentunya melahirkan preposisi yang tidak logis dan cenderung subjektif-sinis. Hal ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran yang menyatakan, bahwa hukum tak hanya telah berubah bentuk dalam wujud norma-norma constitutum yang positif-formal dan rasional, ialah telah menjadi lege atau lex dan tidak lagi bias bertahan ius, melain kan lebih jauh lagi hukum telah berubah secara struktural maupun fungsional sebagai alat pembenar eksploitasi yang vulgar, dengan mereka yang terdudukkan sebagai kawula-kawula papa yang telah dan akan tetap menjadi korbannya.

    BalasHapus